
Di Pondok Pesantren Tebuireng, yang terkenal sebagai tempat lahirnya para ulama besar, tinggal seorang santri bernama Taufiq. Ia bukan anak kiai, bukan pula keturunan orang terpandang. Namun, sejak pertama kali mondok di Tebuireng, Taufiq selalu bertekad untuk menjadi santri yang sopan, santun, dan beradab, sebagaimana pesan yang selalu diingatkan oleh para ustadz:
“Ilmu tanpa adab itu bagaikan api tanpa cahaya.”
Setiap pagi, Taufiq selalu bergegas ke masjid sebelum azan Subuh berkumandang. Ia menyapu serambi masjid, menyiapkan air wudu, dan menunggu iqamah sambil membaca wirid. Ketika ustadz atau kiai lewat, ia langsung berdiri, menunduk, dan memberi salam dengan lembut,
“Assalamu’alaikum, Ustadz.”
Ustadz Madi membalas dengan senyum hangat.
“Wa’alaikumussalam. Tetap jaga adab, ya, Nak. Ilmu itu akan melekat pada hati yang bersih dan sopan.”
Sehari-hari, Taufiq selalu berusaha mengamalkan apa yang diajarkan. Jika diberi nasihat oleh ustadz atau ustadzah, ia tidak pernah membantah. Jika ditegur karena kesalahan kecil, ia menerimanya dengan lapang dada. Ia tahu, menjadi santri bukan hanya belajar kitab, tetapi juga belajar budi pekerti.
Suatu hari, teman sekamarnya, Setyo, terlihat kesal.
“Taufiq, kenapa sih kamu selalu nurut aja sama ustadz dan ustadzah? Kadang kan mereka juga bisa salah.”
Taufiq tersenyum tenang.
“Setyo, ustadz dan ustadzah itu seperti orang tua kita di sini. Kalau kita tidak menghormati guru, bagaimana ilmu bisa masuk ke hati?”
Setyo terdiam. Ia tak menyangka temannya bisa sebijak itu.
Beberapa minggu kemudian, saat pelajaran tafsir dan pelajaran lainnya, ustadz dan ustadzah memuji Taufiq di depan kelas.
“Anak seperti Taufiq inilah yang diinginkan oleh Tebuireng 3. Bukan hanya pandai membaca kitab, tapi juga mengamalkan apa yang diajarkan.”
Taufiq menunduk malu. Ia tak merasa bangga, justru semakin berhati-hati agar tidak menjadi sombong.
Malam harinya, ia menulis di catatan kecilnya:
“Adab lebih tinggi dari ilmu. Tebuireng 3 tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tapi juga menanamkan akhlak. Jika aku ingin ilmunya barokah, aku harus menjaga sopan santunku.”
Hari demi hari berlalu, dan sikap Taufiq membuat banyak teman menirunya. Mereka mulai belajar menyapa ustadz dan ustadzah dengan sopan, menjaga kebersihan pondok, dan saling menghormati. Kini, suasana pondok semakin terasa tenang dan penuh keberkahan.
Saat waktu perpulangan santri tiba, ustadz dan ustadzah memberi pesan terakhir sebelum para santri pulang ke rumah masing-masing:
“Anak-anakku, bawalah ilmu dan adab kalian ke mana pun kalian pergi. Tebuireng dikenal bukan karena banyak santrinya yang pandai, tetapi karena banyak santri yang sopan, santun, dan mengamalkan ilmu dalam kehidupan.”
Para santri menitikkan air mata. Dalam hati, Taufiq berdoa:
“Ya Allah, jadikan aku santri yang tak hanya belajar, tapi juga mengamalkan setiap ilmu dan adab yang telah diajarkan di pondok ini.”
Santri sejati bukan hanya yang hafal banyak kitab, tetapi yang mampu menghidupkan adab dan ilmu dalam perbuatan sehari-hari. Di Tebuireng, sopan santun bukan sekadar pelajaran — tapi cermin keikhlasan dan keberkahan hidup.
